Kamis, 30 September 2010

Membangun Solidaritas Buruh Migran Melalui Pemaknaan Bulan Sya’ban


Oleh Sobih Adnan
Setidaknya sudah sering terdengar betapa banyaknya pembicaraan mengenai keutamaan dan kemuliaan bulan sya’ban. Bulan ke-8 dalam kalender hijriyah ini tidak luput dari amanat-amanat, anjuran, bahkan perintah Nabi melalui hadist-hadistnya. Namun ternyata terdapat hal menarik, terutama mengenai makna nama dari bulan yang terhitung di tengah-tengah antara Rajab dan Ramadhan ini.
Banyak riwayat yang menceritakan awal mula penamaan bulan sya’ban ini terambil dari term Arab yang berbunyi tasya’ub (berpencar). Hal tersebut tergegas karena kultural masyarakat Arab. Di mana pada hitungan bulan ini, terbiasa saling berpencar untuk mencari mata air dalam rangka memenuhi kebituhan hidupnya.
Selain itu juga terdapat riwayat yang menjelaskan tentang pemaknaan bulan sya’ban dengan penukilan lafadz sya’aba yang dalam terminologi Arab memiliki makna ”muncul”, karena terletak di antara dua bulan yang dimuliakan di atas.
Akan tetapi pemaknaan sya’ban dari makna ”berpencar” (baca: bekerja) akan dirasa lebih menarik untuk diangkat. Karena berkaitan dengan kesemangatan manusia sebagai hamba yang tertuntut untuk beribadah kepada Tuhannya, sekaligus sebagai makhluk sosial yang memiliki tanggung jawab penuh, terhadap pemenuhan kebutuhannya melalui sebuah usaha atau ikhtiar dan bekerja.
Keberiringan antara amanat ibadah dan bekerja yang tersandang oleh manusia, ini ditekankan Allah SWT dengan tanpa adanya pembatasan wilayah. Tuhan hanya memberikan takanan proses pencapaian rizki tersebut, harus secara halal dan tidak sampai melalaikan posisi manusia itu sendiri sebagai hamba.
”apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah:10). Maaf ya saya tidak kasih tulisan arabnya? Soalnya sudah dari penerbitnya, sebenarnya ingin saya kasih arabnya tapi komputer saya ga bisa make arab.
Membumi adilkan Kepedulian Terhadap Buruh Migran
Masih tentang penamaan bulan mulia ini, dengan arti bekerja, ikhtiar, dan berusaha, sekaligus dengan efek penggambaran kata ”berpencar” yang menghapuskan masalah keterbatasan wilayah dengan sendirinya. Maka akan semakin teringat dengan nasib para ”pemencar” dan para pencari nafkah sampai ke luar batasan negeri, yakni para buruh migran yang tengah menjalankan perannya sebagai pemenuh kebutuhan seperti diamanatkan Allah SWT dalam penggalan ayat suci di atas.
Suatu nilai ibadah yang ditekankan Allah SWT tidak hanya bersasaran pada suasana kehambaan semata Artinya ibadah tidak hanya berlaku pada wilayah ritual munajat manusia kepada Tuhannya.
Akan tetapi banya tekanan ibadah yang justru memliki tema dan amanat terhadap kepedulian antar sesama manusia –hablum minannas-, selain ibadah zakat, shodaqoh, dan lainnya.
“sesungguhnya manusia di dunia dan di akhirat, kecuali bagi mereka yang bisa menjalin hubungan baik dengan Allah dan menjaga hubungan baik dengan sesame manusia.”(QS.Al-Imran:112)
Keepedulian terhadap para buruh migran memang harus benar-benar segera membumi di benak masyarakat Indonesia. Apalagi buruh migran sering kali diabaikan keberadaannya. Nilai ibadah melalui kepedulian terhadap para buruh migran ini akan terklaster, dalam suasana kepedulian terhadap makhluk yang lemah dan sering terlemahkan. Tak jarang mereka adalah para perempuan dan anak-anak, yang tidak sebanding dengan masalah yang mereka hadapi.
Selama ini perhatian terhadap buruh migran baru terbaca dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat Indonesia. Hanya melalui komunitas-komunitas kecil, media, atau beberapa instansi yang berkaitan dengan perlindungan buruh migranlah, yang dapat terakses tentang gambaran keadaan dan nasib yang menimpa mereka. Secara singkat akan terwujud jaringan keternukaan informasi yang merata tentang buruh migran, yakni pemerintah sebagai pelindung sekaligus pendamping mereka.
Pencegahan Diskriminasi Buruh Migran
Sebagian besar kasus pelanggaran yang menimpa para buruh migran ternyata terjadi di wilayah negara-negara muslim. Di mana masih teradopsi dalam wacana keagamaan mereka. Atau karena memang keterputusan komunikasi, tentang wacana keberagamaan yang saling menghubungkan antara negara pengirim, seperti indonesia dan negara penerima.
Jika wacana di atas sedikit dapat di benarkan, maka ternyata kecerdasan beragamalah yang dapat memberikan sumbangsih untuk jaminan hak-hak buruh migran. Artinya perlu digagas gencarkan pemaknaan ulang sejarah perbudakan yang pernah mewarnai kajayaan Islam. Walau sebagian muslim dengan kecerdasan keberagamaan tersebut berhasil memaknai bahwa, justru Islamlah yang berhasil menghapus budaya perbudakan masyarakat dunia.
Melalui forum-forum komunikasi muslim dunia seperti KTT. Organisasi konferensi Islam (OKI) dan lainnya, ternyata masih harus diperkuat tentang pentingnya wacana tersebut. Dalam hal ini tentunya yang dapat berperan dengan leluasa adalah pemerintah.
Mereka para buruh migran berpencar menggali rizki tidak hanya untuk kebutuhan diri dan keluarganya, akan tetapi melalui sumbangan devisa yang dihasilkannya dapat juga dirasakan dan memberikan kesejahtraan terhadap negara dan masyarakat luas. Mereka berikhtiar dan mereka ber-tasya’ub, hingga dalam detikan sya’ban, saat ini pun masih sangat membutuhkan perhatian dan kepedulian kita sesama manusia.
Artikel ini di ambil dari majalah INSTITUT STUDI ISLAM FAHMIN yang terbit setiap hari jum’at, apabila ada kata-kata yang salah tolong hubungi penerbit majalahnya ke nomor 081328447100.
Terima kasih telah mengunjungi blog saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar