Minggu, 09 Januari 2011

“Mungkin” Karena Dia Berdoa Kepadanya (Yah, mungkin saja)



Oleh : Eka Yusindra

Terperangkaplah Rahman oleh derasnya hujan yang tak juga berhenti membuatnya terkurung dalam kamarnya. Sungguh tak ada yang menyangka hujan turun dengan sederas dan tak juga berhenti, yang terlintas
di pikiran Rahman ialah baying-bayang hujan uang atau hujan baju-baju bagus yang menurutnya lebih baik dari hujan air. Saat itu Rahman sedang membaca Koran-koran lama yang ia dapatkan dari tetangganya dengan cara meminta, tentunya tetangga itu sudah sangat akrab dengan Rahman. Sesosok anak laki-laki yang berambut gundul dan nampaknya sedang terkena flu sehingga ingusnya blepotan kemana-mana.
“Idih jorok lu” Triak Rahman kepada adik laki-laki satu-satunya itu. Adiknya tersenyum sambil menggaruk kepala gundulnya itu. “Ada orang” ocehan itu terucapkan oleh adik Rahman.
Segera Rahman bereeskan bacaan-bacaannya yang berserakan di atas tempat tidur yang ia duduki itu. Rahman  berjalan santai menghampiri pintu rumah sambil hatinya menebak-nebak siapakah yang datang sore seperti ini meskipun derasnya hujan tak juga berhenti.
Benar saja tebakan Rahman, ternyata yang berdiri di depan pintu rumahnya itu adalah Rojak. Rahman menyambutnya dengan dengan sebuah senyum yang sangat tulus untuknya. Rojak juga membalas senyum itu dengan senyum yang lebih indah. “Bosan Aku” kata itu terucap ketika Rahman mengajaknya masuk ke dalam kamarnya untuk berbincang dengannya. Sepertinya Rojak bosan dengan keadaan rumahnya, dan dia ingin memanfaatkan waktu untuk mencari teman untuk berakrabat kata-kata, maksudnya berbincang atau mengobrol. Remaja yang satu ini memang cukup pintar mengelola waktu. Menurutnya waktu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat Rahman heran dengan si Rojak ini,
Rojak memperbincangkan tema yang Rahman tak mampu untuk meladeninya. Nampaknya Rahman harus banyak membaca agar dapat mengimbangi obrolan Rojak. Entah dari mana dia dapatkan ilmu-ilmu yang tak pernah terlintas sekali di otak Rahman. Rahman hanya mengangguk dan mengiakan saja apa yang Rojak katakana. Obrolan yang begitu singkat menurut Rojak, tapi tak tahu kalau Rahman, mungkin dia merasa lama berbincang dengan Rojak. Perbincangan Rahman dengan sahabatnya Rojak itu terpotong oleh merdunya suara adzan maghrib yang berasal dari masjid di sebelah timur rumah Rahman. Rojak dengan sopannya berpamitan dengan Rahman, dia pulang dengan membawa sepeda berbonceng yang lumayan keren, Rojak harus melewati jembatan reot, untuk pulang kerumahnya. Untungnya hujan deras itu tak berlanjut, hanya gerimis yang turun ketika itu. Betapa leganya rojak ketika dia sampai di rumah kecil sangat sederhana milik keluarga itu. Tapi ibu dan tiga orang adiknya yang masih kecil menyambutnya dengan wajah yang menggambarkan keputus asaan. Sejenak di berfikir apakah yang membuat mereka semua menjadi seperti itu. Rasanya baru kali ini dia melihat ibunya dengan wajah yang begitu kehilangan harapan. Pandangan tertuju pada sebuah lemari di sebelah kamar kosong di rumah Rojak. Sebuah lemari yang biasanya berisi sebuah TV empat belas inc dan sebuah radio jaman dulu yang masih berantena. Tetapi saat itu Rojak kaget ketika ia hanya melihat radio jadul saja yang ada di lemari itu. Dia berfikir mungkin televisi di situ telah di gondol maling yang tak bertanggung jawab, tapi mana mungkin, rumah ini adalah rumah keluarga paling miskin di desa ini. Tapi Rojak tak sampai hati mengorek keterangan dari ibunya sendiri, melihatnya tak tega Rojak.
“Jak TV satu-satunya di rumah kita ini harus dijual karena tadi pak yos datang menagih hutang, itu pun belum cukup” kalimat itu terucap oleh ibu Rojak ketika Rojak hendak masuk ke dalam kamar mandi, bermaksud untuk berwudhu.
Meskipun Rojak tak di pungkiri lagi dia adalah tergolong keluarga yang harus susah payah jika mencari makan, tapi dia tak mendapatkan keringanan sedikitpun dari sekolah yang ia jadikan tempat menuntut ilmu itu. Bapak Rojak tak tahu di mana keberadaannya, mungkin sudah meninggal atau pun sudah punya keluarga baru di tempat lain. Yang mereka andalkan satu-satunya adalah kakak Rojak yang juga anak pertama dari ibu Rojak serta kakak perempuan satu-satunya bagi Rojak.
Sesekali temannya yaitu Rahman mengajaknya untuk menghilangkan beban pikiran yang dia punya. Karena dia juga sama-sama memiliki nasib yang seperti itu, tapi Rahman lebih beruntung darinya karena dia memiliki orang tua yang lengkap. “Kenapa sih kalau ku ajak makan kau tak mau ada apa dengan kau?”. Ocehan Rahman yang terlontar bersamaan dengan tepukan tangan Rahman yang mengenai bahu kiri Rojak. Tapi Rojak menjawabnya dengan suara lembut “puasa”, “kenapa kau puasa ha?”. “Hanya berniat beribadah saja” Rahman di buatnya merinding ketika mendengar keterangan Rojak itu.
“Sungguh ramai”. Malam hari dengan iringan hujan di rumah anak tukang cuci itu. Tapi keluarga Rojak selalu ramai oleh anak-anak di keluarga Rojak. Nampaknya Rojak harus beradu kecepatan dengan adik-adiknya untuk menuju kamar mandi di bagian rumah Rojak yang paling belakang, kewajiban Rojak untuk menemani adiknya untuk buang air kecil. Mungkin mereka takut harus melewati sebuah kamar kosong yang tak terpakai, ruangan yang selalu panas, gerah, sehingga tak ada yang menghuninya kecuali para memagis yang mungkin betah di dalamnya. Ruangan yang selalu membuat pikirannya bertanya-tanya yang sampai sekarang tak satupun petunjuk terpecahkan dari ruangan itu. Wah misterius juga.
Rumah kecil sederhana yang selalu ramai dengan jeritan bocah-bocah polos yang lucu, tak jarang hanya lantunan Ayat Al-Qur’an yang terdengar di rumah itu.
Hari minggu yang cukup indah bagi Rojak, karena beban pikiran serta beban pelajaran harus di istirahatkan semenatara. Sungguh sejuk pagi itu, angin yang sangat pas meskipun masih pagi. Pagi yang begitu indah, mungkin seorang narator, cerpenis, bahkan seorang novelis Profesional sekalipun tak mampu untuk menggambarkan suasana dahsyat seperti itu. Mungkin juga hari adalah hari-hari indah dalam hidupnya “ya, mungkin saja”
Pagi hari itu terlalu sejuk bagi Rojak, sampai mata Rojak yang tadinya segar bugar lambat laun menjadi semakin menciut, terkelap lah dia dengan keadaan terduduk di bangku depan rumahnya. Dia tak merasakan bahwa pagi yang begitu indah itu hilang dengan datangnya siang yang terik. Dan mungkin itu pertanda bahwa Tuhan sedang memanjakan Rojak. Tuhan yang harus ia temui lima kali dalam satu hari satu malam. Itu juga bukti bahwa komunikasi antara keduanya masih bisa di anggap baik. “Syukur”. Dia terbangunkan oleh suara mesin mobil yang begitu mengganggu di telinganya. Taklama kemudian keluarlah dua orang laki-laki yang wajahnya begitu bersih. Tak menyangka bahwa orang berpakaian rapih itu bertamu kerumah sederhana  Rojak. Refleknya langsung membuatnya menjadi harus mengucek kedua matanya dengan kedua tangannya. Sampai salah satu dari tamu itu tak malu-malu menyindirnya “Mas, masih ada ilernya tuh!” sambil menunjuk bagian bawah dari bibirnya. Entah energi apa yang dapat menjadikan hati Rojak terkumpul begitu luar biasa membuat ia tak malu-malu untuk mempersilahkan dua orang tamu itu untuk masuk dan duduk di ruang tamu rumah Rojak.
Tak banyak pikir dia langsung memanggil ibunya yang ketika itu sedang berada di salah satu sudut kamar Rojak sedang membersihkan sarang laba-laba di atap-atap rumah. Ibunya sedikit malu-malu ketika menemui dua orang laki-laki itu, mungkin saja akan melamar dan meminang ibu Rojak. Pikir ibu Rojak dalam hatinya, mungkin kalau rojak mendengar suara hati ibunya itu akan tesenyum geli. Ibunya menanyakan maksud kedatangan kedua orang laki-laki itu dengan senyum. Salah seorang diantaranya meyodorkan kertas berisi gambar yang Rojak sendiri tak mengerti maksudnya. Orang tersebut menjelaskannya dengan bahasa Indonesia yang begitu rapih. Kertas itu adalah kertas yang berisi peta tambang minyak pada pemerintahan belanda yang belum sempat di garap, karena pada waktu itu jepang dengan cepat masuk ke Indonesia. Setelah perbincangan yang cukup singkat kedua orang tersebutberpamitan dengan Rojak dan keluarganya. Mereka pulang dengan mobil kijang berwarna silver.
Malamnya Rojak melamun, dengan memejamkan matanya… Lamunan yang di temani suara cicak dan detakan jam dinding. Lamunan Rojak berlanjut sampai tak terasa, Rojak begitu lelap tertidur di sebuah bangku yang biasa ia gunakan untuk menonton TV. Lagi-lagi dia tertidur degan posisi terduduk. Tubuhnya terjaga ketika seruan yang sangat merdu merasuk dalam nurani Rojak seakan ia mengikuti seruan itu. Tak pikir panjang ia cepat mengambil sarung dan sandal. Ia tak malas menerobos gelapnya subuh yang terasa begitu dingin. Lama sekali ia juga tak datang kerumah, hingga akhirnya ia datang dengan muka pucat dan mata yang redup. Karena baru sekarang ia pulang lama sekali, tak ada yang tahu apa yang Rojak lakukan dari subuh sampai siang. Kepulangan Rojak ternyata lebih terkejut lagi ketika ia lihat didepan rumahnya terparkir mobil yang kemarin datang bertamu. Di dalam rumah pun telah duduk dua orang laki-laki yang kemarin datang kerumah Rojak. Kedatangan mereka kerumah Rojak disertai kepala desa dan satu orang lagi yang belum pernah Rojak lihat. Tiba saatnya rumah Rojak harus di periksa oleh orang-orang itu. Orang itu berjalan menuju kamar kosong yang misterius itu. Rojak jadi teringat bahwa di rumahnya ada kamar kosong yang di dalamnya selalu panas, gerah. Setelah beberapa menit orang itu keluar dari kamar tersebut. Dan menyatakan dengan begitu pasti kepada keluarga Rojak bahwa di rumah Rojak terdapat tambang minyak yang sangat besar. Entah bagaimana orang itu begitu yakin bahwa rumah Rojak tersimpan minyak yang begitu banyak.
Langsung saja orang itu menyuruh ibu Rojak untuk menandatangani surat yang berisi penjualan rumah ke pihak pemerintah. Tapi ibunya tak langsung menandatanganinya. Ibunya mau tanda tangan ketika di bujuk oleh kepala desa. Dalam hati Rojak kaget dengan surat yang di tanda tangani ibunya itu. Tertulis di surat itu sebesar 600 juta rupiah. Apakah layak rumah kecil ini di hargai dengan jumlah tersebut, dia tanyakan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri.
Mulai saat itu keluarga Rojak berkemas untuk pindah ke tempat lain mulai besoknya rumah keluarga Rojak dan rumah lain di sekitar rumah Rojak harus di bongkar karena mungkin di situ akan di bangun sebuah kilang minyak yang cukup besar.
Sejak peristiwa itu Rojak dan keluarganya tak Rahman jumpai lagi. Mereka menghilang entah kemana. Mungkin Rojak sudah menjalani kehidupan baru di tempat lain yang sampai  sekarang tak di ketahui keberadaannya.
artikel yang lain


Tidak ada komentar:

Posting Komentar